Jumat, 06 Mei 2011

Ngarah Keong Bersma Bapak (Eyang Kusen)

Bapak pada sampai era tahun 75 adalah peternak bebek, ketika itu kami klas 4 atau lima SD. Suatu hari saya di ajak mencari siput (keong) untuk umpan Bebek.  Pagi itu saya di ajak bersepeda ke arah kota cilacap, sampailah saya suatu tempat dekat dengan Kilang minyak yang baru dibangun. Orang kampung saya bilang Pelur (mungkin nama pemborong Proyek Kilang Minyak Cilacap) proyek pertamina cilacap. Belakangan saya tahu nama daerah tempat saya mencari keong tersebut adalah daerah Rawa Pasung. Disana dibelakang proyek pertamina terbentang luas sawah; disitulah saya sepanjang pematang berjalan dan membongkok sambil membolak balik rumput, jerami busuk atau apa saja yang diperkirakan menjadi tempat sembunyi atau bersemayamnya keong-keong.
Tidak terasa perjalanan mengelilingi  pematang telah begitu jauh dari tempat semula mulai turun kesawah, tempat sepeda butut, karatan, tanpa rem, tanpa sparkboard (penutup ban), dan paslin yang pada kering disetiap porosnya; sehingga ketika bergerak, dari poros stang muncul suara kreiet-kriet.
Dari kejauhan kelihatan sepeda kami hanya nampak stangnya saja; sengaja Bapak menutupi sepeda dengan dedaunan supaya rodanya tidak kepanasan; yang bisa berakibat fatal; meledak atau kempes lantaran  pentilnya semakin lonyod.
Kepis ukuran sedang sudah mulai penuh dengan keong,  panas matahari begitu menyengat, sehingga tenggorokan terasa kering, bibir terasa sulit untuk membuka lantaran lidah tidak lagi mampu membasahi bibir.
Kulihat Bapak terpaut jarak  empat atau lima kotak sawah; beliau memberi isyarat untuk mendekat; saya jalan terseok-seok karena pematang terlalu kecil, disana sini banyak tumpukan rumput yang dikumpulkan dari sawah yang disiangi (diwatun), apalagi haus dan perut sudah sejak tadi bunyi; pertanda minta diisi. Kumasukan keong hasil saya ngumpulin kedalam kandi (karung plastik) yang dibawa Bapak. Saya pikir Bapak akan mengajak pulang, setelah aku menyatukan keong hasil tangkapanku; ternyata Bapak berjalan ke arah yang menjauh dari posisi sepeda di pinggir jalan. Aku  terpaksa mengambil jalan pematang yang lain dipersimpangan berikutnya untuk mencari keong. Perut makin terasa lapar, lutut mulai gemetaran; aku terduduk di pematang, sebentar kemudian aku berjalan menuju sepeda  sambil sesekali memungut keong. aku tengok, mendongak kearah sepeda ternyata tempat sepeda gak kelihatan tertutup pepohonan, mungkin kebun Singkong.
Untuk sampai ke tempan nyimpan sepeda terasa lama sekali, padahal aku tidak lagi perdulikan keong yang nampak sekalipun dekat nempel di pematang; karena gemetran dan haus taktertahankan.
sambil menunggu bapak datang, saya duduk-duduk di perengan pinggir jalan. ketika bapak datang aku di ajak beli makanan; ketika itu adanya ondol-ondol (sunda : Misro), gorengan Dage, tahu brontak (tahu isi, gehu).
Meskipun udah kenyang makan dan minum, badan masih terasa gemeter. akhirnya kami pulang dengan membawa sekarung keong sekitar  waktu asar.

Semoga jerih payah dan perjuangan hidup, untuk menafkahi keluarga diterima Allah sebagai amal ibadah.
Ya Allah ampuni segala dosanya, sayangi dia dan maafkanlah dia. aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar